Critical Review: Bahasa, Sastra, dan Wacana Masyarakat Madani
(sumber gambar) |
Prof. Chaedar Alwasilah dalam essainya yang berjudul Bahasa, Sastra, dan Wacana Masyarakat Madani, menyatakan harapannya untuk menjadikan bahasa Melayu menjadi bahasa regional. Namun menurut saya, selain karena persoalan internal di ketiga negara yang berakar budaya Melayu, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, ada masalah-masalah lain yang perlu diperhatikan. Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa sejak dulu hubungan antara Indonesia dan Malaysia dilanda konflik yang cukup serius. Mulai dari pengklaiman budaya Indonesia oleh Malaysia, konflik di bidang olahraga (khususnya sepak bola) sampai pada sikap Malaysia yang sering mengganggu wilayah kedaulatan RI dengan diam-diam mencaplok pulau-pulau di daerah perbatasan Indonesia. Masalah seperti ini bisa saja mengganggu terciptanya kerja sama antara ketiga negara di atas. Apalagi saat hasil seni budaya kita, misalnya batik dan Reog Ponorogo, sudah pernah diklaim secara sepihak oleh negara tetangga itu. Sebelum menjalin kerja sama apapun, bahkan di bidang sastra dan bahasa, konflik yang sudah lama berakar itu perlu dituntaskan terlebih dahulu. Harus diciptakan atomosfir yang damai antara kedua negara. Jika tidak, maka tetap akan ada komentar-komentar negatif yang mengiringi kerja sama ini. Walaupun misalnya pejabat dan pimpinan negeri ini tidak menghiraukan komentar negatif itu, namun pendapat rakyat kebanyakan lah yang justru harus lebih dipertimbangkan.
Selain itu, jika benar nanti ada penyelarasan istilah-istilah di berbagai bidang ilmu menggunakan bahasa Melayu, maka ini sama saja merendahkan posisi bahasa-bahasa lain yang digunakan di negara masing-masing. Masyarakat Indonesia yang aktif menggunakan bahasa Melayu hanyalah masayarakat yang ada di wilayah barat, sisanya menggunakan bahasa daerah yang dari logat sampai dialeknya sangat berbeda dengan bahasa Melayu. Di Malaysia sendiri masih ada bahasa Tamil dan Cina. Jika bahasa Melayu yang dipilih sebagai bahasa regional, maka hal itu akan menimbulkan sentimen dari penutur bahasa-bahasa lain. Hal ini bisa mengganggu kestabilan di dalam negeri.
Indonesia pun bisa dibilang masih sangat jauh dari kata siap untuk mewujudkan bahasa Melayu sebagai bahasa yang digunakan dalam berbagai bidang ilmu. Taraf pendidikan kita masih berada di bawah rata-rata dengan anggaran pendidikan yang juga tidak proporsional bahkan sering dinikmati oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab. Dengan kondisi seperti itu, bisa dibayangkan betapa sulitnya bagi Indonesia untuk mengajarkan materi menggunakan bahasa yang bagi sebagian besar rakyatnya mirip namun tetap berbeda itu. Belum lagi buku-buku ajar yang pastinya harus diproduksi ulang dengan mencantumkan istilah-istilah baru. Guru-guru yang berbahasa ibu non-Melayu juga harus dilatih untuk dapat mengajarkan anak-anak didiknya bahasa Melayu. Semua itu akan membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit, dan jika pelaksanaannya tidak jujur serta transparan, maka hanya akan merugikan negara.
Di samping itu, bahasa Inggris adalah bahasa internasional yang sudah banyak dipakai dalam berbagai buku ilmu pengetahuan. Dengan mempelajari bahasa Inggris sebenarnya sudah cukup bagi para ilmuwan maupun praktisi berbagai bidang, karena dengan menggunakan bahasa Inggris, tidak hanya dengan wilayah regional saja kita bisa berkomunikasi dengan baik, namun juga dengan negara-negara yang berada di luar kawasan Asia Tenggara. Bahasa Melayu cukup diberdayakan dalam seni dan budaya, karena seni dan budaya merupakan bahasa universal yang dapat diterima oleh seluruh warga dunia ini. Kita tidak bisa memaksakan diri untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa regional jika situasi dan kondisi di negara kita memang tidak memungkinkan untuk mewujudkannya.
Dalam pembahasan selanjutnya, Prof. Chaedar juga menyatakan bahwa maraknya unjukrasa yang diikuti oleh tawuran, kekerasan, dan tindakan anarkis selama ini sesungguhnya merupakan akibat dari politik Orba yang menyumbat saluran-saluran kritik dialogis. Pendapat ini memang dari satu sisi benar, namun perlu diingat bahwa pemerintah kita sekarang ini sudah jauh lebih demokratis dari zaman Orba. Unjuk rasa diperbolehkan asal tidak mengganggu kepentingan umum dan merusak fasilitas publik. Namun sekarang ini sering kita dapati demonstrasi yang dipenuhi kericuhan dan tindakan anarkis. Semua ini adalah akibat dari kurangnya kesadaran masyrakat bahwa untuk menjadi demokratis pun kita harus bertanggungjawab. Tidak ada gunanya merusak fasilitas publik karena hal itu hanya akan merugikan negara dan mereka sendiri. Dana yang seharusnya dimaksimalkan untuk memberantas kemiskinan dan meningkatkan kecerdasan bangsa justru harus dibagi lagi untuk dana perbaikan fasilitas-fasilitas yang dirusak oleh massa. Hal ini sangat ironis, karena seharusnya masyarakat sadar bahwa tidak akan ada hal baik yang dihasilkan dari kemarahan yang meluap-luap, apalagi jika kemarahan itu ditimpakan pada fasilitas yang dibangun dari pajak yang mereka keluarkan. Maka, masyarakat perlu disadarkan bahwa pemerintahan kita sudah memiliki asas demokrasi, dan hak untuk menyampaikan pendapat pun tidak boleh disalahartikan sebagai kebebasan untuk bertindak anarkis.
Dalam essainya yang berjudul Baca Tulis Masyarakat Madani, Prof. Chaedar mengemukakan pendapatnya bahwa untuk merubah mind set anak bangsa, maka mind set guru dan dosen juga harus diubah. Hal ini sangat logis dan saya setuju dengan pendapat tersebut, sebab dari apa yang dialami mahasiswa Indonesia ketika mengikuti MKU BI, yang ada memang hanya pengulangan yang membosankan mengenai materi di SMA. Tidak ada tugas-tugas yang dapat meletupkan jiwa menulis mahasiswa. Bahkan untuk menulis makalah pun, masih banyak sekali yang mengandalkan metode copy-paste. Dosen-dosen pun bukannya tidak mengetahui hal ini, tapi sebagian besar dari mereka hanya mementingkan selesainya tugas dan adanya nilai yang tertera. Mungkin memang terlalu merepotkan jika setiap mahasiswa diharuskan menulis tanpa metodecopy-paste yang, sayangnya, sangat populer itu. Pasti akan banyak kesalahan dalam tulisan mahasiswa, namun bukankah membuat kesalahan adalah salah satu proses belajar? Dengan terus berusaha agar mahasiswa menghindari mengulangi kesalahan itu, maka kemampuan menulis mereka pun perlahan-lahan akan berkembang. Maka dari itu, diperlukan dosen yang memang memiliki kesabaran dalam membimbing mahasiswanya dan tidak hanya berorientasi pada nilai, tapi lebih fokus pada proses pembelajaran yang murni, yaitu proses yang dilandasi oleh kejujuran. Hal ini penting untuk menghasilkan manusia-manusia yang berkompeten, khususnya dalam bidang menulis, agar Indonesia tidak dicap sebagai negara penghasil sarjana karbitan.
Jika dilihat di lapangan, masih banyak mahasiswa yang kemampuan menulisnya tidak jauh berbeda dengan pelajar tingkat menengah. Bahkan masih ada buku-buku berbahasa Indonesia yang terbit di pasaran di mana isinya tidak sesuai dengan kaidah penulisan yang baik dan benar. Hal ini tentu sangat memprihatinkan. Padahal untuk menjadi bagian dari masyarakat madani, diperlukan kemampuan menulis secara kritis untuk bisa mengaktualisasikan peran sosial di dalam masyarakat. Hal ini seharusnya diajarkan sejak dini, agar pelajar tidak kaget saat diharuskan membuat tulisan yang kritis. Tahap pertama untuk mengajarkan sikap kritis dalam menulis tentunya para siswa harus dikenalkan yang mana karya sastra yang baik dan mana tulisan yang kurang baik. Dengan begitu, mereka akan mengenali ciri-ciri karya yang baik itu seperti apa. Mereka juga harus dibiasakan membaca banyak buku, bukan hanya buku dari satu bidang, tapi juga buku-buku bidang lain, bahkan buku fiksi pun sebenarnya dapat membuat seorang siswa menjadi kritis karena biasanya di dalamnya terdapat pesan moral yang tersirat. Selanjutnya, siswa diminta untuk menulis, entah itu mengarang bebas atau menulis dengan tema tertentu. Percobaan pertama tentunya tidak akan langsung menghasilkan tulisan yang berkualitas, namun itu adalah jejak pertama sang siswa untuk menjadi penulis yang kritis. Guru atau dosen harus memberikanfeedback yang diperlukan agar ke depannya siswa atau mahasiswa itu bisa menghasilkan karya yang lebih bermutu dan tentunya lebih kritis.
Selain pengajaran secara formal di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, dengan adanya kemajuan teknologi yang terus berkembang pesat, seharusnya bisa dibuat website atau blog yang khusus menampung karya tulis yang dibuat oleh siswa, entah itu dalam konteks akademik maupun sastra. Tujuannya adalah agar karya itu bisa diakses oleh banyak orang, entah rekan sebaya ataupun orang-orang yang sudah berpengalaman di bidang tulis-menulis. Di situ para penulis bisa saling berbagi ilmu dan pengalaman. Selain itu, kritik yang dimuat juga dapat lebih objektif karena yang mengomentari karya tulis itu bisa saja bukan orang yang dikenal langsung oleh penulis, sehingga bisa menghindari kecenderungan bias atau komentar yang terlalu subjektif. Hal ini perlu dilakukan agar generasi muda tidak hanya tahu situs-situs social media di mana mereka biasa mencurahkan isi hati atau ide-ide mereka, tapi juga situs menulis resmi yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan menulis. Tetapi tetap harus dibuat peraturan agar karya tulis maupun komentar yang di-post di situs tersebut tidak mengandung unsur SARA atau hujatan tidak bermutu yang dapat mematikan motivasi penulis. Sudah seharusnya dipilih pengelola situs yang dewasa dan tegas, agar tujuan dibentuknya situs tersebut dapat tercapai, yaitu untuk menumbuhkan jiwa menulis kalangan pelajar dan menghasilkan penulis-penulis yang mampu menuangkan idenya dengan kritis, juga mampu mengkritisi tulisan orang lain secara tepat sasaran dan tetap santun.
Kesimpulannya, untuk mewujudkan masyarakat madani yang ideal, kita memang perlu mengubah pola pikir yang selama ini tertanam di dalam sanubari masyarakat kebanyakan bahwa menulis itu membosankan, tidak penting, tidak menghasilkan, hanya membuang waktu dan sebagainya. Justru dari menulis lah kita dapat meningkatkan peradaban kita. Dengan banyaknya tulisan-tulisan berkualitas yang dihasilkan oleh masyarakat kita, maka itu membuktikan tingginya tingkat kesadaran masyarakat mengenai pentingnya literasi bagi kelangsungan kehidupan bangsa. Namun, dalam proses perwujudan masyarakat madani itu, kita tidak perlu memaksakan bahasa Melayu sebagai bahasa regional karena terlalu banyak dampak buruk yang dapat mengancam kestabilan negara dan menghambat hubungan antara ketiga negara berumpun Melayu itu dengan negara-negara lain yang tetap menggunakan bahasa Inggris dalam pengistilahan berbagai bidang seperti biologi, fisika, filsafat, ekonomi, kimia, fisika, farmasi, kedokteran, dan sebagainya. Hal itu juga tidak akan berjalan efektif karena Indonesia terdiri dari wilayah kepulauan yang begitu luas di mana setiap daerah memiliki bahasa sendiri yang berbeda dengan bahasa Melayu.
0 Comments