OPTIMALISASI GERAKAN LITERASI PESANTREN HUSNUL KHOTIMAH UNTUK PERCEPATAN DAKWAH DAN TARBIYAH ISLAM

OPTIMALISASI GERAKAN LITERASI PESANTREN HUSNUL KHOTIMAH
UNTUK PERCEPATAN DAKWAH DAN TARBIYAH ISLAM
Jaruki Andriansyah Maulana

Pesantren bukanlah lembaga kursus yang dapat dengan mudah mengobral nilai dan sertifikat. Pesantren bukanlah mesin pencetak kader pembangunan yang gagal dan korup. Pesantren adalah pencipta benih-benih unggul untuk membangun kejayaan Islam dan masa depan negeri ini. Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki setidaknya dua visi mulia: (1) mendidik para santri nilai-nilai Islam, akhlakul karimah dan keilmuan Islam (Tarbiyah), dan (2) mempersiapkan santri secara akademik, fisik dan mental untuk mengajak dan mengarahkan masyarakat menuju kehidupan yang islami (Dakwah). Pesantren memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Pesantren adalah tempat pendidikan karakter dan fondasi pembangunan peradaban Islam.
Di era globalisasi dan modernisasi saat ini, peran pesantren dihadapkan kepada tantangan yang luar biasa dahsyatnya. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi khususnya jaringan internet telah menghilangkan semua batasan yang ada dan memberikan jalan yang terbuka lebar untuk asimilasi dan akulturasi budaya sehingga menyebabkan degradasi moral Islam secara besar-besaran.  
Pada era ini pula, kita dengan jelas dapat menyaksikan bahwa literasi atau keberaksaraan yang tidak lain merupakan keterampilan membaca dan menulis berperan sangat vital terutama dalam memengaruhi pemikiran masyarakat secara internasional. Kita tidak bisa mengingkari fakta bahwa bangsa berbasis literasi yang kental (orang barat) sekarang menjadi penguasa dunia. Dengan literasi yang disokong oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dan komunikasi, mereka mampu mengontrol dunia. Namun sayangnya, budaya literasi seperti itu belum digalakkan secara optimal dalam dakwah dan tarbiyah Islam baik di dunia maupun di Indonesia khususnya di pesantren.
Dengan demikian, sudah saatnya bagi pesantren untuk bangkit dan menggiatkan gerakan literasi islami untuk percepatan dan optimalisasi dakwah dan tarbiyah Islam sebagai aktualisasi dari visi pesantren. Pesantren saat ini harus meningkatkan kualitas literasi pendidik (ustadz) dan mengkader peserta didik (santri) untuk terbiasa dan bisa membaca dan menulis dengan baik dan benar, serta melek media dan memanfaatkannya sebagai wahana dakwah dan tarbiyah Islam juga sebagai upaya mengimbangi radikalisme yang semakin marak beredar melalu berbagai media.
LANGKAH – LANGKAH OPTIMALISASI GERAKAN LITERASI PESANTREN UNTUK PERCEPATAN DAKWAH DAN TARBIYAH ISLAM
1.      Firman Pertama : Membudayakan Kegiatan Membaca
Iqra! Bacalah! (Q.S. Al-Alaq: 1)
Telah berjuta kali firman Allah ini dikumandangkan terutama dalam berbagai konteks pendidikan secara luas. Namun, sejauh ini nampaknya firman Allah yang pertama ini tidak melekat di kalbu baik peserta didik (santri) dan pendidik (ustadz) itu sendiri. Ini adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan dan sangat disayangkan.
Ayat ini sejatinya menandai kerasulan Muhamad SAW sebagai utusan Allah. Dalam jejak rekamnya, ayat ini diturunkan Allah kepada nabi Muhamad SAW melalui malaikat Jibril. Ayat ini datang sebelum Muhamad SAW ditugaskan untuk menyebarluaskan agama Islam yang berlandaskan ketauhidan: percaya dan menyerahkan diri kepada satu Tuhan yaitu Allah SWT.
Hal ini jelas mengindikasikan bahwa Allah Sang Maha Esa menginginkan Muhammad SAW untuk bisa membaca (memahami apa yang disampaikan Allah Sang Maha Esa melalui malaikat Jibril) agar pesan-pesan-Nya dapat didakwahkan dan diterima oleh manusia lain. Pesan utama dari turunnya ayat ini adalah bahwa ketakwaan harus dibangun dengan membaca. Kenapa membaca? Jawabannya adalah tidak lain tidak bukan karena membaca adalah aktivitas utama dalam upaya mencari ilmu pengetahuan dan pencerahan. Oleh karena itu, ketakwaan harus didasarkan pada ilmu. Hanya dengan menguasai ilmu tentang Allah-lah maka ketakwaan bisa terbangun. Ketakwaan yang tidak dikonstruksi dengan ilmu hanyalah sesuatu yang semu. Sesuatu yang tidak memiliki hirarki spiritual yang bermakna.
Atas dasar ini pula, sebagai manusia yang beriman dan bertakwa, kita harus menumbuhsuburkan firman pertama ini dalam kehidupan dakwah dan tarbiyah Islam. Membaca seharusnya menjadi fondasi dakwah dan tarbiyah Islam, menu utama dan kebutuhan pokok yang tidak bisa ditinggalkan. Demikian rekomendasi aplikatif untuk Pondok Pesantren Husnul Khotimah:
Membudayakan kegiatan membaca di kalangan ustadz dan santri Pondok Pesantren Husnul Khotimah dengan mengadakan kegiatan “Satu Jam Membaca” setiap satu pekan sekali.
Mendesain kurikulum pesantren yang mendorong kegiatan santri membaca misalnya dengan menerapkan sistem “Tugas Baca” sebelum kegiatan belajar di kelas.

2.      Orientasi Produktif : Ustadz dan Santri Menulis
Menulis harus menjadi kekuatan ustadz dan santri. Kita tidak bisa mengingkari fakta bahwa bangsa berbasis literasi yang kental sekarang menjadi penguasa dunia. Tengoklah Amerika Serikat dan Kanada, Eropa Barat, dan Australia. Meskipun bukan negara Islam, dengan mendasarkan aspek-aspek kehidupan lewat literasi yang kuat, para penduduk di negara-negara tersebut mampu menikmati kemakmuran dan kedigdayaan intelektual. Tidak mengherankan jika negara-negara tersebut menjadi ladang gula bagi para imigran dan pencari suaka yang bermimpi untuk mendapatkan kehidupan baru yang lebih baik.
Dengan demikian, sekali lagi, menulis harus menjadi kekuatan ustadz dan santri.  Budaya menulis harus digalakkan di kalangan santri dan ustadz. Kurikulum pesantren (seharusnya) didesain dengan berorientasi pada produktivitas (yang tidak semata-mata menitikberatkan pada pola transfer ilmu pengetahuan) untuk mendorong ustadz dan santri menulis, mulai dari hal terkecil seperti menulis jurnal belajar dan refleksi guru, buku harian, makalah dan penelitian tindakan kelas, buku non-fiksi hingga terbiasa menulis buku-buku Islam dan Pengetahuan yang dapat diakses dalam skala internasional.
Dengan demikian, dengan menulis, maka dakwah dan tarbiyah Islam serta nilai-nilai kebenaran di tengah masyarakat akan mudah disebarluaskan, dan bukan tidak mungkin kejayaan Islam yang berlangsung hampir kurang lebih 500 tahun di Andalusia dan Persia yang menjadi representasi sempurna dimana kebudayaan Islam berbasis literasi menjelma menjadi kejayaan Islam akan kembali tegak.
Berikut ini adalah rekomendasi aplikatif untuk Pondok Pesantren Husnul Khotimah:
Menumbuhkembangkan budaya menulis di kalangan ustadz dan santri Pondok Pesantren Husnul Khotimah dengan mengadakan kegiatan “Lomba Literasi Ustadz dan Santri” setiap triwulan atau semester.
Mendesain kurikulum pesantren yang mendorong kegiatan santri menulis misalnya dengan menerapkan sistem “Tugas Menulis” setelah kegiatan belajar di kelas.
Mengoptimalkan peran majalah pesantren sebagai ajang kreativitas ustadz dan santri Pondok Pesantren Husnul Khotimah.
Membuat dan mengoptimalkan “Mading Kelas,” “Mading Bahasa” dan “Mading Pesantren.”
Mengaktifkan kegiatan “Forum Lingkar Pena” untuk mendorong santri menulis dan berorganisasi dalam kegiatan menulis.
Membuat website untuk publikasi ustadz dan santri Pondok Pesantren Husnul Khotimah.

3.      Transformasi : Dari Monomodalitas Menuju Multimodalitas
Harus diakui bahwa praktik literasi khususnya di pesantren masih berkutat pada monomodalitas, aspek literasi yang hanya mengandalkan teks saja. Namun, praktik literasi monomodalitas ini nampaknya belum mampu memberdayakan kegiatan membaca dan menulis secara ekstensif. Lain halnya, praktik literasi di negara-negara maju berorientasi sepenuhnya pada multimodalitas yaitu jenis teks yang mengandung unsur lisan (spoken), tulisan (written), gambar bergerak (animation) dan tidak bergerak (visual), aspek bebunyian (aural) dan bersifat interaktif (Unsworth, 2001). Literasi jenis ini dijuluki new literacy atau multyliteracy.
Contoh produk bernuansa multiliterasi dapat ditemui berserakan di dunia maya dan gadget, dimana teks lisan dan tulisan kini semakin hidup karena dilengkapi dengan visualisasi dan bebunyian yang interaktif. Semua praktik kehidupan sosial kini dapat dilihat di web dengan mudah. Koran, buku, majalah dan jenis publikasi lain kini berada di ranah digital yang bisa diakses dimana saja dengan mudah. Ranah virtual kini telah memasuki sendi-sendi kehidupan kita. Atas dasar inilah gagasan mengenai multimodalitas dan multiliterasi hadir.
Karena multimodalitas didigitalisasi dalam bentuk visual, maka lahirlah apa yang kita namakan visual literacy. Literasi visual ini kini menjadi menu utama pembelajaran bahasa di negara-negara maju terutama di Australia, Inggris, Amerika Serikat dan negara maju lainnya. Ini adalah sesuatu yang belum kita sentuh sama sekali di kelas-kelas kita. Betapa kita telah terlalu jauh tertinggal dalam praktik literasi kita.
Literasi visual harus dipertimbangkan dalam konteks multiliterasi yang lebih luas. Para pendidik dan peneliti di negara-negara maju telah menyadari bahwa memang dunia global kini berbasis teknologi yang memungkinkan orang melakukan banyak hal di dalamnya (Bearne, 2003.). Oleh karena itu, praktik literasi post-modern harus bertujuan untuk memperdalam kamampuan ustadz dan santri dalam mengolah teks-teks visual sehingga dakwah dan tarbiyah Islam semakin efektif. Berikut adalah rekomendasi aplikatif untuk Pondok Pesantren Husnul Khotimah:
Sosialisasi dan pelatihan multiliterasi di kalangan ustadz dan santri Pondok Pesantren Husnul Khotimah.
Pelatihan penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam konsep multiliterasi santri dan ustadz.

4.      Pendukung : Sarana Dan Prasarana
Untuk mengoptimalkan gerakan literasi pondok pesantren Husnul Khotimah, tentu saja dibutuhkan komitmen dan upaya keras dari berbagai pihak pemangku kepentingan untuk memajukan budaya tulis-menulis di pesantren. Kemampuan literasi para ustadz dan santri harus ditunjang oleh banyak hal: pelatihan, perpustakaan dan e-library yang memadai, ruang belajar yang nyaman, dan (mungkin) sistem renumerasi yang memadai agar tercipta iklim literasi yang jauh lebih menguntungkan.
Selain itu, publikasi ilmiah maupun sistem penugasan berbasis literasi dari tiap program studi atau jurusan harus dikembangkan secara serius dan sepenuh hati, dan formalitas sesegera mungkin harus ditanggalkan. Tanpa ada iklim pembudayaan literasi yang kuat dan sehat, mustahil sebuah peradaban mampu Berjaya (Bumela, 2012).
Demikian rekomendasi aplikatif pendukung gerakan literasi pesantren untuk percepatan dakwah dan tarbiyah Islam di Pondok Pesantren Husnul Khotimah:
Membangun kenyamanan perpustakaan-perpustakaan yang ada di pesantren agar mampu menarik minat baca santri dan ustadz serta mengakomodasi seluruh warga Pondok Pesantren Husnul Khotimah.
Melengkapi koleksi buku di perpustakaan Pondok Pesantren Husnul Khotimah dalam berbagai bidang sehingga perpustakaan menjadi sumber ilmu yang memadai.
Melengkapi sistem renumerasi untuk memudahkan akses terhadap buku.
Membangun e-library (perpustakaan elektronik) yang berisikan buku-buku elektronik yang tersusun dengan rapih, terhubung dengan akses internet dan memiliki akses terhadap perpustakaan umum global seperti en.bookfi.org.

Penutup: Nyerat atawa Sakarat
Publish or Perish! Nyerat atawa Sakarat!
Kutipan di atas merupakan sebuah slogan bernada ancaman yang sangat terkenal dalam ranah akademik di seluruh dunia. Kutipan tersebut menegaskan bahwa pada akhirnya semua kembali kepada diri kita sendiri, apakah kita mau menggalakkan gerakan literasi pesantren (membaca dan menulis) untuk mengefektifkan dakwah dan tarbiyah Islam serta membangun kembali kejayaan Islam atau diam tidak bergerak. Yang pasti Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri (Q.S. Ar-Ra’d : 11).
Saat ini, memang kondisi minat baca bangsa Indonesia sangat memprihatinkan. Tercatat berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat membaca. Indonesia hanya unggul satu angka saja di atas Botswana.
Dalam hal publikasi, keterampilan menulis juga belum menjadi kebutuhan dalam dunia pendidikan kita. Terbukti dari jumlah judul buku yang terbit dalam waktu setahun. Sebagai perbandingan, di kawasan negara-negara Asia saja kita menempati posisi yang cukup rendah. Memang Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Cina, yang berpenduduk 1,3 miliar jiwa mampu menerbitkan 140.000 judul buku baru setiap tahunnya. Vietnam dengan 80 juta jiwa menerbitkan 15.000 judul buku baru per tahun. Malaysia berpenduduk 26 juta jiwa menerbitkan 10.000 judul, sedangkan Indonesia dengan 220 juta jiwa hanya mampu menerbitkan 10.000 judul pertahun (Enjang A.S, 2011).

Namun demikian, bukan berarti tidak ada jalan keluar untuk permasalahan pelik ini. Dengan komitmen yang kuat, semua upaya untuk meraih kejayaan Islam dengan jalan dakwah dan tarbiyah Islam akan  dapat direalisasikan. Sesuai dengan firman Allah Sang Maha Esa, maka sesungguhnya bersama kesusahan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesusahan ada kemudahan (Q.S. Asy-Syarh : 5 – 6). Atas dasar ini pula, sudah saatnya kita mengoptimalkan peran pesantren dengan sebuah konsep yang bernama multiliterasi. Pesantren adalah pencipta benih-benih unggul untuk masa depan negeri ini. Ia memiliki tugas besar dan mulia dalam konteks pengembangan sumber daya manusia di sebuah negara. Ia pun memiliki peran vital dan strategis dalam melahirkan generasi baru yang akan menjadi agen-agen perubahan.

Post a Comment

0 Comments