(Questionning) KUDESO: the past, the present, and the future
Testimoni perdana oleh Elbi-9
Sidaraja, Jumat berkabut, 17 Januari 2014
Catatan kecil yang saya goreskan di laman mikroblogging ini diniati sebagai pengingat belaka bahwa di seratus tahun kemudian kita masih akan tetap dikenang sebagai orang-orang yang gila: gila bermimpi, gila berjuang, gila baca, gila nulis, gila debat, dan tentu saja gila perprestasi. Semua jenis kegilaan ini, sejak awal Kuningan Debating Society (KUDESO) berdiri setengah decade ke belakang, memang telah ada. Diakui atau tidak, gagasan mengenai pembentukan KUDESO ini dihantui oleh sebuah ketakutan luar biasa: takut mahasiswa prodi pendidikan Bahasa Inggris UNIKU terus menerus dipandang sebelah mata. Ketakutan ini, menurut saya, wajar adanya karena saya memiliki tanggung jawab moril yang besar, baik sebagai seorang akademisi dan individu, untuk memajukan mahasiswa yang saya ajar dengan cara-cara yang masuk akal.
Saya pun bertanggungjawab untuk memajukan prodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Kuningan (UNIKU) sebagai tempat saya mengabdi. Tri Darma Perguruan Tinggi hanya menjadi menu yang luar biasa basi apabila semua elemen yang terlibat di dalam sebuah prodi dosen, staf tata usaha, dan mahasiswa tidak bisa menjadikan institusi yang menaunginya sebagai situs untuk selebrasi jutaan prestasi dan pemujaan atas kejujuran, kepatutan, keakraban, dan keikhlasan yang melandasi setiap upaya kerja keras.
Saya pun bertanggungjawab untuk memajukan prodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Kuningan (UNIKU) sebagai tempat saya mengabdi. Tri Darma Perguruan Tinggi hanya menjadi menu yang luar biasa basi apabila semua elemen yang terlibat di dalam sebuah prodi dosen, staf tata usaha, dan mahasiswa tidak bisa menjadikan institusi yang menaunginya sebagai situs untuk selebrasi jutaan prestasi dan pemujaan atas kejujuran, kepatutan, keakraban, dan keikhlasan yang melandasi setiap upaya kerja keras.
Sejarah KUDESO dimulai ketika pertama kali tim debat PBI-UNIKU memenuhi undangan resmi dari KOPERTIS Jawa Barat untuk mengikuti National University English Debating Championship (NUEDC) pada tahun 2008 (kalau tidak salah mengingat tahun). Pada waktu itu, ibu sekretaris prodi, Ii Wasita, M.Hum yang pertama kali menghubungi saya agar menyiapkan tim sedini mungkin. Instruksi saya terima dengan perasaan campur aduk. Antara senang dan kaget. Antara merasa tertantang dan agak pesimis.
Antara mau dan tidak mau. Antara ya dan tidak. Semua rasa ini terkumpul menjadi medan magnet yang mengelluarkan getaran-getaran listrik hebat di ujung jemari tangan saya, yang waktu itu masih memegang surat resmi dari kopertis ang sudah dilengkapi disposisi dari Rektor dan Dekan FKIP.
Antara mau dan tidak mau. Antara ya dan tidak. Semua rasa ini terkumpul menjadi medan magnet yang mengelluarkan getaran-getaran listrik hebat di ujung jemari tangan saya, yang waktu itu masih memegang surat resmi dari kopertis ang sudah dilengkapi disposisi dari Rektor dan Dekan FKIP.
Pada waktu itu, setelah mempelajari dengan seksama surat dari Kopertis, saya sempat bertanya kenapa even ini baru ada sekarang. Ketika saya masih berstatus mahasiswa s1 belum pernah sedikit pun mendengar mengenai kompetisi debat resmi yang diadakan oleh Kopertis sebagai perpanjangan tangan Kemdikbud.
Then I said to myself, I wish I could turn back time. Sensasi narsistik sempat muncul waktu itu: saya punya level kepercayaan diri di atas rata-rata; kemampuan berbahasa Inggris saya pun mumpuni dalam empat jenis keahlian (listening, speaking, reading, dan writing); plus pengetahuan umum saya pun mumpuni dibanding teman seangkatan atau pun kakak kelas saya yang sama-sam cum lau de. What else do I have? I guess I could win every single match and finally became the winnernamun, momen narsistik itu tidak lama beredar dalam orbit otak saya karena saya harus segera mengambil keputusan. Posisi saya adalah dosen (junior) bukan lagi mahasiswa.
Keputusan pertama yang saya ambil adalah dengan menyatakan ya kepada kaprodi dan sekprodi Pak Agi dan Bu Ii . Kalau saya menyatakan tidak berarti saya akan menyiakan kesempatan emas untuk maju. Di surat yang saya terima dari Kopertis IV Jawa Barat-Banten, perhelatan NUEDC bebas bea pendaftaran, dan setiap tim yang terdiri dari dua orang mahasiswa, adjudicatior dan observer mendapat akomodasi gratis (termasuk makan) selama dua hari tiga malam di hotel Nalendra Cihampelas Bandung. Pada waktu itu NUEDC perdana dilaksanakan di STIBA Yapari Bandung yang hanya berjarak kurang lebih 300 meter saja dari lokasi hotel. Mengingat ini adalah sebuah kemewahan yang langka, maka tidak berat bagi saya untuk menyatakan ya.
Namun, keputusan kedualah yang ternyata terasa berat untuk diambil: siapakah mahasiswa terbaik yang layak untuk menjadi ambassador PBI UNIKU dalam hajatan besar ini. Setelah sekitar satu jam berdiskusi dengan pihak prodi, muncullah dua nama: Asih dan Ima (lupa nama lengkapnya). Berdasarkan masukan dari banyak dosen, kedua mahasiswa ini memiliki kadar prestasi yang mentereng di antara angkatan pertama PBI UNIKU. Keputusan pun telah diambil. Mereka berdualah yang akan tampil atas nama UNIKU, bukan PBI UNIKU, di ajang NUEDC perdana tingkat regional Jawa Barat. Banyak yang menyangka bahwa NUEDC hanya diperuntukkan bagi mahasiswa dengan latara belakang (Pendidikan) Bahasa Inggris. Salah besar! Langganan juara di berbagai kompetisi debat ternyata banyak didominasi oleh mahasiswa dengan latar belakang non bahasa dan non sastra. Jadi, dengan kata lain, tim debat PBI UNIKU adalah memang mewakili UNIKU, bukan mewakili program studi saja. KUDESO, oleh karena itu, sejak awal berdiri, memang menjadi ambassador penting bagi UNIKU.
Keputusan yang lebih berat adalah mengenai pola latihan macam apa yang harus saya ambil sehingga tim debat yang baru secara premature dibangun ini tampil meyakinkan di hadapan publik intelektual universitas.
Meskipun pada waktu itu NUEDC masih diperuntukkan bagi Universitas swasta saja, namun saya tetap beranggapan bahwa lawan yang akan dihadapi takkan mudah untuk ditaklukkan. Benar saja prediksi saya.
Tim-tim debat dari universitas besar seperti Parahyangan, Maranatha, IT Telkom, dan Ahmad Yani bisa melenggang dengan bebas sampai babak final. Tim debat UNIKU hanya bertengger di posisi 15 saja.
Agak memalukan menurut banyak pihak yang tidak mengerti bagaimana tim ini berlatih sejak awal.
Dengan persiapan yang seadanya dan bongkahan ilmu dan pengalaman yang minim, tim debat UNIKU tetap layak diacungi jempol karena mereka tampil dengan jas kuning kebanggaan UNIKU. Akan lebih memalukan kalau kita tidak mengikuti even bergengsi ini karena tidak semua PTS di Jawa Barat diundang untuk tampil pada ajang ini. Di tahun berikutnya, dengan materi tim yang sama, tim UNIKU bertengger di posisi 13. Suatu progress yang tidak jelek. Ternyata tim dari Parahyangan tampil dengan materi dan kualitas tim yang lebih mumpuni. Begitu pun tim lainnya. Tim kecil dari universitas daerah yang agak menjanjikan adalah dari Wiralodra pada waktu itu.
Pada tahun 2009 ketika tim debat UNIKU bermaterikan Wulan Rahmatunisa, dan Vina Agustiana keduanya kini menjadi dosen junior di PBI UNIKU dan tengah mengambil master di Pendidikan Bahasa Inggris UPI - semua debater dan adju mulai memperhitungkan UNIKU sebagai sebuah tim yang unggul dengan bertengger di posisi lima, tim UNIKU sejauh ini menjadi tim kuda hitam yang mampu menggetarkan NUEDC tahun 2009. Dengan prestasi ini, bisa dibilang bahwa UNIKU pun mulai dikenal harumnya di belantara dunia debat regional Jawa Barat. Namun, sayangnya, dengan format berbeda (tim dari PTN pun digabung dalam debat KOPERTIS), prestasi ini tidak lagi dapat dilanjutkan generasi baru para debater UNIKU.
Generasi baru KUDESO pada waktu itu diisi oleh Arif Firmansah, Jaruki Andriansyah Maulana, Ageng Sutrisno, dan Anisa Puspadewi semuanya kini tergabung dalam tim Southeast Asian Debating Open (SEADO) menjalani momen yang lebih sulit dibanding generasi Wulan feat Vina. Ini disebabkan format kompetisi menjadi terbuka di mana PTS dan PTN disatukan dalam satu kompetisi yang sama dan kecurangan dalam penilaian pun semakin merajalela dari tahun ke tahun. Sebagus apapun tim UNIKU, tim debat dari universitas besarlah (terutama PTN) yang dihadiahi kemengan oleh para adju yang ternyata memang teman dekatnya para debater. Hegemoni pun menjadi nyata. Namun, dengan semua yang terjadi di NUDC, yang menggantikan akronim NUEDC, KUDESO terus mengembangkan sayapnya dalam dunia debat.
Dua tahun berturut-turut tim debat KUDESO menjadi juara umum di perhelatan English Debating Championship yang diselenggarakan oleh himpunan mahasiswa Bahasa Inggris (EDSA) IAIN Syekh Nurjati Cirebon, rumah baru saya di mana saya mengabdikan diri sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris sejak awal tahun 2011. Jaruki Andriansyah Maulana pun terpilih sebagai the best speaker dalam dua tahun berturut turut. Dengan menyabet juara satu dan dua, tim KUDESO pun mulai mewarnai dunia debat regional tiga Jawa Barat dengan prestasi mentereng. Baru-baru ini pun tim muda (young team) yang berisi Husni, Luk-Luk, dan Ney menggondol piala sebagai juara satu debat universitas di tempat yang sama.
When one door closes, other millions doors are open. Itulah prinsip KUDESO. Tak bisa berjaya di NUDC karena faktor X, maka KUDESO bisa berjaya dengan cara yang lain di tempat lain. Sederet prestasi individu para kudeomania pun, yang saya sebut sebagai hall of fame, dan mudah-mudah tidak akan pernah menjadi wall of shame, begitu mentereng. Sejak lima tahun terkahir, misalnya, mahasiswa berprestasi UNIKU selalu dijuarai oleh mahasiswa PBI UNIKU yang dibesarkan di KUDESO. Selain itu, Ageng Sutrisno, salah satu kudesomania dengan prestasi mentereng, kini beratribut sebagai Duta Bahasa Jawa Barat 2013,Jajaka Pinilih Jawa Barat (peringkat dua) 2013, dan Jajaka Pinilih tingkat kabupaten tahun 2012 (tingkat pertama). Halaman ini tidak akan cukup untuk menyebutkan satu per satu prestasi dan keunggulan KUDESOmania. Semua prestasi ini mengindikasikan bahwa KUDESO berevolusi dengan cara-cara yang menakjubkan. Ia tidak hanya berperan sebagai mesin pencetak debater tapi memoles (calon) manusia yang unggul dan bisa menjadi kebanggaan banyak orang. Evolusi ini sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Dulu KUDESO dianggap sebagai situs yang angker. Kini, bisa saya pastikan, dengan sederet prestasi yang gemilang, KUDESO menjadi situs yang jauh lebih angker dari sebelumnya.
Memimpikan Sesuatu yang Belum Terimpikan
Kini di tahun 2014, KUDESO ingin menggapai sesuatu yang lain. Ingin memainkan jenis music yang lain. Ingin bermain di tempat yang lain. Selalu ada daya tarik tersendiri dari sesuatu yang lain. Sesuatu itu adalah SEADO. Musik dengan genre yang berbeda itu adalah SEADO. Tempat yang akan kita singgahi itu berlabel SEADO. Ya benar. SEADO. Southeast Asian Debating Open yang diinisiali oleh Curtin University Sarawak yang berlokasi di Miri, Malaysia, dan akan dilaksanakan pada tanggal 11 s.d 16 April 2014.
Sebagai cabang dari Curtin University of Technology, Australia, nampaknya hajatan berlabel SEADO ini banyak maknanya untuk mereka (Uni, Malaysia, dan Miri people). Pertama, Curtin Uni sedang unjuk gigi agar bisa didatangi oleh mahasiswa terbaik se-Asia Tenggara. Maklum Sarawak kini menjadi hub beberapa universitas dari Australia. Kedua, Miri di mana Curtin Uni berada, tengah digadang-gadang sebagai destinasi wisata penting lain punya Malaysia yang menawarkan sesuatu yang berbeda. Wisata edukasi plus teknologi nampaknya menjadi pesan tersendiri yang akan kami ingat dari perhelatan SEADO. Ketiga, Malaysia kini tengah menampakkan diri sebagai pusat keunggulan baru (the centre of excellence) di kawasan Asia Tenggara. Selain themeline Truly Asia-nya yang sering kita dengar, Malaysia pun nampaknya ingin dikenal sebagai pusat keunggulan pendidikan, teknologi, dan budaya. Ini merupakan sebuah upaya akselerasi Malaysia untuk menjadi negara yang super duper strong di ASEAN sehingga daya tawar politik mereka menguat. Dengan daya tawar politik yang kuat, maka Malaysia akan memiliki kaki yang juga kuat di kawasan Asia Pasifik dan semua keputusan politik penting pun akan mereka miliki dan berdampak hebat bagi kawasan ASEAN.
Apapun latar belakang yang Malaysia miliki, saya menyambut baik saja karena memang sudah seharusnya setiap negara menjadikan dirinya sebagai pusat keunggulan banyak bidang. Selama niat semacam ini dianugrahkan untuk kepentingan rakyat maka itu adalah sebuah keharusan. KUDESO pun, sebagai sebuah pusat keunggulan, punya banyak alasan untuk tampil di ajang SEADO, terlepas dari segala cibiran dan prasangka miring yang dialamatkan kepada kami.
Pertama, SEADO adalah ajang debat internasional yang bersifat terbuka alias tidak mewajibkan tim debat untuk memiliki caps tertentu untuk tampil dalam ajang ini. Artinya adalah everyone can join in tanpa ada rasa diskriminasi atau inferior. Even semacam ini tentu saja penting bagi penguatan pendidikan ASEAN yang mestinya menandingi universitas di Australia. Tim besar dari universitas besar dan kecil dari seluruh Asia Tenggara akan berdiri di podium yang sama dan mereka semua dituntut untuk mewakili negaranya masing-masing dengan bangga. Tak ada alasan untuk minder. Tak ada alasan untuk merasa kecil. Ajang ini merupakan momen untuk unjuk gigi bahwa Indonesia pun bisa diwakili oleh tim sekecil UNIKU, tidak mesti diwakili oleh ITB saja yang telah menjadi juara dunia debat di Chennai India, misalnya. Pengalaman internasional ini sangat krusial untuk KUDESO dan UNIKU karena di masa depan siapa tahu UNIKU pun akan menjadi situs penting untuk perhelatan debat level Asia Tenggara bahkan dunia.
Kedua, partisipasi dalam SEADO adalah investasi jangka panjang bagi Universitas Kuningan. Terlepas dari perkiraan apakah KUDESO mampu berjaya di SEADO, keberanian dan daya juang tim UNIKU akan tetap dikenang sebagai aksi heroic, dan cerita epic ini akan bertahan lama dan terus menerus diceritakan ke generasi selanjutnya. Piala adalah sebuah efek samping saja. Daya juang-lah yang harus lebih diapresiasi karena berlatih debat memiliki kompleksitas yang gila. Bukan hanya aspek kebahasaan saja (listening-speaking-reading-writing) yang harus dipoles, namun kemampuan berfikir kritis pun harus terus menerus diasah tanpa henti. Selain itu, nutrisi para debater pun harus mumpuni. Gila baca menjadi syaratnya. Para debater harus mau membaca segala jenis berita lokal-regional-internasional dengan topic yang beragam (politik, sosial, ekonomi, dan budaya). Tak ada alasan untuk tidak tahu. Debater harus banyak tahu meskipun tidak tahu segalanya. Dengan bekal seperti ini bukan tidak mungkin mahasiswa yang mewakili UNIKU di ajang SEADO akan menjadi orang besar dan menjadi sumber kebanggaan serta inspirasi bagi banyak orang di masa mendatang. Harumlah nama UNIKU.
Ketiga, partisipasi di ajang SEADO akan melejitkan nama UNIKU di seantero nusantara. Di tengah krisis penerimaan mahasiswa baru yang kini melanda di hampir banyak PTS di Jawa Barat, UNIKU membutuhkan oase yang megah dan besar agar memancing minat calon mahasiswa baru untuk bertapa di UNIKU. Pemasaran terbaik adalah pemasaran dari mulut ke mulut, bukan iklan tv atau di internet. Bukankah untuk mendapatkan ikan yang besar kita pun harus mengail dengan umpan yang besar pula?
Ketiga alasan di atas mungkin tidak cukup untuk menjelaska mengapa KUDESO harus pergi bertarung di SEADO. Tapi, yang jelas, untuk mengukir sejarah memang tidak selalu disertai jutaan alasan. Cukup katakana why not? untuk menjawab kenapa KUDESO harus pergi ke Miri. Seperti yang sudah dikatakan Anisa Puspadewi, selama bermimpi tidak dikenakan pajak maka para Kudesomania akan terus bermimpi sampai sumbu bumi putus dari garis edarnya. Saya sepenuhnya sadara bahwa atmosfir kompetisi di SEADO mungkin akan lebih menguras tenaga, pikiran, dan sumerdaya lalinnya, tapi yang selalu saya percayai adalah apa yang kita tanam hari ini adalah proyeksi masa depan kita. Apabila partisipasi dalam SEADO adalah sebuah kebaikan, maka Alloh pun menjamin masa depan kita pun dengan penuh kebaikan. Bukankah kita, sebagai muslim, ditantang oleh Alloh untuk berlomba-lomba dalam kebaikan?
Masa Depan yang Belum Terlacak
Jujur saja ada semacam serpihan kecil pesimisme terselip di antara bayang-bayang optimisme mengenai masa depan KUDESO. Bisa jadi SEADO adalah ajang terbesar dan terakhir yang akan diikuti oleh KUDESO dengan generasi emas yang ada. Generasi Wulan-Arif-Jaruki-Anisa-Ageng merupakan generasi emas KUDESO dalam lima tahun terkahir dan telah mewarnai sejarah per-debat-an (bukan perdukunan) khususnya di wilayah tiga Cirebon. Membangun generasi emas kedua dan ketiga akan jauh lebih menyulitkan khususnya bagi KUDESO.
Pertama, dengan kuota mahasiswa yang (semakin) terbatas jumlahnya, saya semakin sulit untuk melacak calon debater potensial yang memiliki passion yang kuat dalam dunia debat. Kedua, dari sekian jumlah debater junior yang ada, saya belum melihat bahwa bakal ada generasi emas kedua yang bakal lahir. Ini terlihat dati passion, level of attendance, dan level of performance the young teams yang masih jauh panggang dari api, padahal ajang debat lokal di Cirebon pun sebentar lagi akan dilaksanakan. Ketiga, gap antara tim senior dan junior yang nampaknya terlalu jauh untuk dijembatani. Tim senior terus menerus berakselarasi sedangkan tim junior semakin tak tentu arah perkembangannya. Keempat, komitmen dan kekompakan the young teams pun terus menerus saya pertanyakan. Saya kecewa setiap kali para debater junior hadir di rehearsal tanpa membaca sedikitpun materi yang sudah di-share di FB group Kudeso.
Kehadiran yang dipaksakan (baca: tanpa persiapan) menjadi penyakit akut yang nampaknya sulit untuk dikendalikan dan dihanguskan. Perlu ketulusan dan keikhlasan yang luar biasa besar untuk gabung di Kudeso karena setiap rehearsal biasa dilaksanakan dalam rentang tiga sampai dengan enam jam pada tiap hari Sabtu dan ada latihan tambahan dengan rentang waktu yang sama di luar hari Sabtu. Untuk ke-sekian kalinya, oleh karena itu, saya menekankan bahwa KUDESO hanya membutuhkan mahasiswa yang tidak pernah telat datang, tidak banyak alasan, tidak cengeng, tidak pundungan, tidak legeg, dan tidak egois.
Akhirul kalam saya menegaskan pada tulisan ini bahwa KUDESO pernah menorehkan sejarah, kini tengah mengukir serpihan sejarah baru lewat SEADO, namun setelah itu masa depannya dipertanyakan. Bukan karena KUDESO statusnya ngambang, tapi karena tidak ada lagi mahasiswa yang mau bermetamorfosis dalam kepompong berlabel KUDESO. Klub debat ini akan menjalani masa dorman, mati suri, atau mati beneran andaikata tidak ada lagi mahasiswa yang mau meneruskan filofosi klub ini. Biarlah SEADO menjadi tempat perhentian terakhir kita apabila itu menjadi kebaikan bagi kita semua. Biarlah Miri, Sarawak, Malaysia menjadi situs terakhir kita melaksanakan ritual debat: defining and challenging the motion, extending and summarizing argument, offering rebuttals and PoIs, and finally going home with the pride that will never be possessed by other people.
0 Comments