The Fears We Don't Face Become Our Limits
Sabtu, 18 Januari 2014, 00.00 am
Baru beberapa detik berlalu sejak hari mulai berganti, dan beberapa menit sejak saya membaca testimoni para anggota KUDESO dan The Extraordinary Head Couch yang membuat hati saya tergetar. Bagaimana tidak? Testimoni-testimoni mereka menghembuskan suatu kekuatan yang magis. Untaian kata-kata mereka menggambarkan betapa kerasnya perjuangan yang telah mereka lalui semenjak KUDESO pertama dibentuk lima tahun yang lalu sampai sekarang. Betapa luhur dan mulianya cita-cita serta impian mereka. Betapa murninya niat mereka untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih cerdas, dan lebih segalanya dari orang-orang yang tidak berani menjadi pemimpi. Sesuatu terasa menghentak jiwa saya. Saya merasa menjadi orang paling manja sedunia. Saya malu. Dan saya menyesal.
Saya menyadari, kebersamaan saya dengan KUDESO tidaklah panjang. Ketika tiga tahun yang lalu saya memutuskan untuk mengikuti jejak teman sekelas saya, Ageng Sutrisno, untuk bergabung dengan KUDESO, mental saya tidak siap. Saya terlalu takut akan kritikan pedas yang mungkin akan melayang pada saya. Saya sangat minder dengan kemampuan saya waktu itu. Modal saya untuk bergabung hanyalah berlandaskan rasa nekat dan ingin memperbaiki kemampuan saya dalam bidang speaking. Dan ternyata ketakutan saya sendiri yang membuat saya tidak bisa maju beriringan dengan rekan-rekan KUDESO. Ibaratnya, mereka sudah berlari kencang, sementara saya masih belajar merangkak. Perasaan sentimental itu yang membuat saya sempat tidak PD untuk tetap melangkah bersama KUDESO, selain karena kesibukan saya waktu itu sebagai guru SD yang tidak memungkinkan saya untuk mengikuti latihan. Akhirnya, saya sempat vakum dari KUDESO selama kurang lebih dua tahun lamanya.
Namun, di antara masa vakum itu, saya masih sempat mengikuti The Fourth International Conference on Applied Linguistics (CONAPLIN 4) yang berlokasi di Bandung, 19-20 September 2011, bersama Ageng Sutrisno dan Jaruki A. Maulana beserta Pak Lala Bumela. Saya merasa beruntung bisa mengikuti konferensi tingkat internasional itu, karena pengetahuan saya akan bidang linguistik bisa terasah, walau waktu itu saya masih buta soal linguistik. Dari pengalaman itu pun, saya bisa mengetahui lebih jauh kepribadian orang-orang luar biasa yang berada di balik kesuksesan dan kegemilangan prestasi KUDESO. Sifat selalu ingin tahu, mau mencari tahu, dan tidak malu-malu dalam mengutarakan pendapat adalah apa yang bisa saya lihat dari rekan-rekan serta pelatih KUDESO.
Pengalaman kedua yang saya alami adalah ketika pergi ke Jakarta untuk mengikuti seminar mengenai kurikulum 2013 di salah satu mall elit di sana. Bersama dengan ketujuh pria yang masing-masing adalah Pak Lala, Mang Ocim, Pak Wahid, A Arif, Ageng, Jaruki dan Husni, saya berangkat. Saat itu saya tidak menyangka bahwa saya adalah satu-satunya kaum hawa yang ikut, sebab nama Husni itu agak ambigu. Saya sempat berpikir ‘Husni’ juga perempuan, berhubung sebelumnya saya belum pernah bertemu dengannya (maaf Husni, hehehe...). Selain mendapatkan pencerahan mengenai kurikulum 2013, saya mendapatkan pengalaman yang jauh lebih berharga. Beberapa pelajaran kehidupan saya dapatkan dari seseorang yang bertanggung jawab untuk mengendarai mobil yang kami naiki, yaitu Mang Ocim. Pria yang sederhana dan murah senyum itu bisa melontarkan kalimat-kalimat yang bijaksana dan kadang tak terpikirkan oleh saya. Saya ingat, ketika itu saya berpikir perjalanan itu adalah salah satu mozaik hidup saya yang tidak akan terlupakan. Perjalanan yang begitu lama dan melelahkan itu pun diisi oleh keceriaan yang menyenangkan. Kalau ada yang bilang kalau KUDESO itu ‘angker’, saya rasa itu karena mereka belum tahu mengenai selera humor masing-masing anggotanya. Percayalah, mereka tidak seseram itu. Mereka juga seseorang yang bisa bercanda, sama seperti manusia-manusia lain. Tidak percaya? Coba saja gabung dengan KUDESO. :)
Oke, mari kembali ke pernyataan saya di awal testimoni ini. Kenapa saya merasa manja, malu dan menyesal? Banyak faktor yang membuat saya berpikiran semacam itu. Saya merasa manja karena saya masih suka menggunakan waktu luang saya untuk hal-hal yang tidak penting, sementara para anggota dan pelatih KUDESO, di tengah kesibukannya masing-masing (yang tentunya jauh lebih padat dari agenda saya), masih mau menyempatkan diri untuk mengasah diri menjadi debater yang unggul dan menjadi contoh bagi generasi penerusnya. Saya juga masih sering dikalahkan oleh rasa malas, yang menyebabkan saya sering menunda-nunda pekerjaan saya. Sementara mereka? Mereka cerdas DAN tekun. Seperti kata Anisa, cerdas itu bukanlah penentu segalanya. Justru ketekunanlah yang mampu membawa seseorang menuju puncak keberhasilan.
Saya begitu terkesan dengan kepribadian mereka. Mereka seperti padi. Semakin berisi, semakin merunduk. Mereka tidak lantas menjadi congkak karena berhasil menorehkan prestasi demi prestasi. Saya yang belum menorehkan prestasi apa-apa saja tidak lantas dipandang rendah oleh mereka. Saya diperlakukan sama dan saya selalu disemangati bahwa saya juga memiliki potensi. Saya sangat berterima kasih pada Miss Wulan Rahmatunisa yang sering memberi saya komentar-komentar yang membesarkan hati saya, juga pada anggota KUDESO lain yang menerima kehadiran saya kembali dengan hangat. Walau posisi saya bukanlah sebagai debater, melainkan jurnalis KUDESO, saya masih bisa belajar banyak hal dari KUDESO. Kapan lagi saya bisa dikelilingi orang-orang luar biasa plus mendapatkan ilmu kehidupan yang tidak didapat di kelas? Yang saya sesalkan adalah kenyataan bahwa saya dulu tidak dapat bersama KUDESO lebih lama. Ketakutan saya yang tidak masuk akal mengalahkan saya. Padahal kalau saya berani menghadapi ketakutan itu, mungkin sekarang saya bisa melangkah bersama anggota KUDESO lain sebagai debater dan ikut mengharumkan nama UNIKU. Tapi waktu tidak dapat diputar kembali, dan sekarang saya bertekad untuk lebih tekun dalam meningkatkan kemampuan saya bersama KUDESO. Saya berharap semoga di luar sana, masih banyak pemimpi-pemimpi lain yang mau mengalahkan ketakutannya sendiri sehingga bisa memaksimalkan potensi terpendamnya dan tidak menyesal di kemudian hari. Ingatlah, bahwa musuh terbesar yang paling sulit dikalahkan itu adalah diri kita sendiri. Keraguan, ketakutan, kegamangan, semuanya berasal dari pikiran negatif kita sendiri. Apa yang kita takutkan belum tentu akan terjadi jika kita mau berusaha untuk mengubahnya. Selalu belajar dari kesalahan adalah kunci untuk maju.
“The fears we don’t face become our limits—Ketakutan yang tidak kita hadapi akan menjadi pembatas kita” – Robin Sharma
Untuk semua yang saya kenal di KUDESO, saya berterima kasih dari lubuk hati saya yang paling dalam atas pelajaran yang telah kalian ajarkan pada saya secara langsung ataupun tidak langsung. Pengetahuan, sikap, dan pendirian kalian telah menginspirasi saya. Kalian adalah manusia biasa yang mempunyai kekuatan bernama impian yang luar biasa. Saya harap cibiran atau sindiran yang datang dari pihak-pihak yang iri terhadap keberhasilan KUDESO bisa dijadikan pelecut bagi KUDESO untuk meloncat ke tahap yang lebih tinggi lagi. Semoga partisipasi KUDESO pada ajang SEADO bisa membuahkan hasil yang membanggakan bagi kita semua. Learn, accelerate and resonate! (by Yulianti Wulansari)
0 Comments